Sejarah Desa Pererenan
<p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Desa Pererenan adalah salah satu Desa di Bali yang memiliki latar belakang sejarah yang erat kaitannya dengan berdirinya Kerajaan Kecil Tibu Beneng. Dokumen historis yang penting dalam memahami asal usul Desa Pererenan adalah babad "I Gusti Gede Meliling." Dalam babad ini, diceritakan bahwa pada masa pemerintahan "I Gusti Agung Nyoman Alakanjeng," yang juga dikenal sebagai raja Mengwi dengan gelar "Cokorda Munggu," terdapat kisah yang menceritakan bagaimana awal mula Desa Pererenan mulai terbentuk.</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Kisah dimulai ketika Ida Cokorda pergi berburu, dan dalam setiap perjalanannya, beliau selalu mampir untuk bertemu "Dalem Sukawati" di Puri Sukawati. Namun, pada suatu perjalanan pulang dari berburu, Ida Cokorda merasa sangat lelah dan memutuskan untuk mampir di Puri Bun untuk beristirahat dan mendapatkan pijatan. Kyayi Nglurah Bun dengan murah hati mengizinkan "Ni Jero Meliling" untuk memijat raja.</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Sementara "Ni Jero Meliling" melakukan pijatan, kecantikannya membuat Ida Cokorda terpikat. Singkat cerita, dari kehamilan Ni Jero Meliling, lahirlah seorang putra. Putra ini kemudian menjadi leluhur bagi seluruh keluarga besar "Jero Gede Pererenan."</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Dalam pesan yang diberikan kepada Kiyayi Nglurah Bun, Ida Cokorda menyatakan bahwa jika yang lahir adalah seorang putra, maka putra tersebut harus diajak ke Puri Mengwi. Namun, jika yang lahir adalah seorang putri , Ida Cokorda berharap putri tersebut akan tetap berada di Puri Bun.</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Ketika putra dari Ida Cokorda telah mencapai usia dewasa, sebagai tanggapan terhadap pesan yang telah diberikan oleh Ida Cokorda, ia segera menyusul dan menghadap Ida Cokorda, yang pada saat itu dihadiri oleh banyak pejabat kerajaan, termasuk penggawa, para patih, dan perdana menteri. Kehadiran mereka menciptakan atmosfer yang serupa dengan awal sebuah rapat penting. Ida Cokorda, dengan hangatnya, menyambut kedatangan tamu kerajaan tersebut dan meminta keterangan. Tamu tersebut tidak lain adalah Kyayi Nglurah Bun, Ni Jero Meliling, dan putra mereka. Kiyayi Nglurah Bun kemudian memberitahu kepada Ida Cokorda bahwa laki-laki yang menemani mereka adalah anak dari Ni Jero Meliling yang juga merupakan anak mereka. Oleh karena itu, pada saat itu juga, di hadapan seluruh pejabat kerajaan yang hadir, Sang Raja (Ida Cokorda) mengakui putra tersebut dan memberikannya nama "I Gusti Gede Meliling."</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Sebagai bentuk rasa kasih sayang, Ida Cokorda memberikan amanat kepada I Gusti Gede Meliling, yang kemudian mendirikan Jero di Padang Luwih. Wilayah kekuasaannya meliputi Padang Luwih, Tibu Beneng, batas barat sawah Munduk Sempol (yang saat ini merupakan wilayah Desa Pererenan), Batas Selatan Kuta, Jimbaran, Kuta Mimba (Pecatu), hingga batas laut. Setelah menerima amanat kekuasaan dari Ida Cokorda, I Gusti Gede Meliling memperistri anak Ki Pasek Kerobokan, dan dari pernikahan tersebut lahirlah seorang putra yang diberi nama "I Gusti Gede Mangku." I Gusti Gede Mangku merupakan putra tertua dari keempat saudara tirinya.</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Setelah I Gusti Gede Meliling wafat, tampaknya I Gusti Gede Mangku, putra tertua dari I Gusti Gede Meliling, menyadari tanggung jawab besar yang diembannya. Ia mengambil alih posisi ayahnya sebagai Raja dan memindahkan pusat pemerintahan ke Desa Tibu Beneng. I Gusti Gede Mangku, dalam kesadarannya akan peran dan tanggung jawabnya, melakukan semadi di Setra Dalem Padonan. Selama proses semadi tersebut, ia mendapat petunjuk dan mendapatkan sebuah keris yang diberi nama "I Don Buluh." Seiring dengan anugerah yang diterimanya, I Gusti Gede Mangku memutuskan untuk membangun sebuah pelinggih yang dinamai Pura Dalem Padonan. Dengan upaya dan anugerah ini, Kerajaan Tibu Beneng menjadi tempat yang aman, damai, dan rakyatnya sejahtera.</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Diceritakan pula, Pada masa pemerintahan Ida Bhatara Sakti Pemecutan, kerajaan Badung mengalami perkembangan yang sangat pesat serta melakukan ekspansi wilayah yang agresif. Salah satu upaya mereka adalah memperkuat basis pertahanan di wilayah Padang Lambih Barat, yang dikenal dengan nama Kerobokan. Hal ini bertujuan untuk mengawasi dua wilayah yang menjadi basis terdepan dari Kerajaan Mengwi, yaitu Dalung dan Tibubeneng.</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Perlahan namun pasti, Kerajaan Badung mulai menduduki sejumlah wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Mengwi. Wilayah-wilayah ini antara lain Bukit, Benoa, Jimbaran, Kuta, Dalung, dan Tibubeneng. Pada sekitar tahun 1800 Masehi, Kerajaan Badung melancarkan serangan ke Tibubeneng, dan dalam pertempuran tersebut, Raja Tibubeneng, "I Gusti Gede Mangku," berhasil dikalahkan. Kabar tentang kematian I Gusti Gede Mangku menyebar dan sampai pada Ida Cokorda Mengwi, yang saat itu menjadi raja Kerajaan Mengwi. Kabar ini memicu kemarahan dalam dirinya.</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Menghadapi situasi yang semakin rumit, Ida Cokorda Mengwi mengirim seorang prajurit bernama I Gede Suda untuk melakukan penyelidikan mendalam. Di tengah situasi perang yang sangat tegang, Prajurit I Gede Suda tidak hanya melakukan penyelidikan, tetapi juga berpartisipasi dalam upaya untuk menyelamatkan I Gusti Made Rai Sempidi beserta adik-adiknya yang masih belia. Mereka membawa barang- barang berharga termasuk "Keris I Don Buluh," "Gender," dan "Tulupan."</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Dalam perjalanan yang penuh risiko ini, I Gede Suda didampingi oleh pengikut setia dan seorang tokoh keagamaan yang dikenal dengan sebutan Bhagawanta. Mereka akhirnya mencapai sebuah tempat terpencil yang dikenal sebagai Pitpitan. Namun, konflik tidak kunjung mereda, dan I Gede Suda terpaksa kembali ke medan perang yang semakin memanas untuk mempertahankan kelompok mereka dan menghadapi tantangan yang ada I Gede Suda pun bertempur kembali, karena kuatnya musuh akhirnya beliau pun gugur. Setelah mendengar berita tersebut putra raja Tibubeneng pergi dari pipitan menuju munduk sempol dan beliau memutuskan untuk menetap disana. Kemudian beliau menata wilayah tersebut menjadi suatu Desa dan mendirikan Grya Gede Kangkang, mendirikan linggih Ida Dalem Padonan, membangun jero serta lainnya. Setelah lama kemudian wilayah munduk sempol diberi nama Desa Pererenan. Yang diambil dari leluhur kerajaan Padang Luwih yang bernama I Gusti Meliling atau I Gusti Gede Pererenan.</span></font></p> <p style="text-align: justify; "><font color="#000000" face="Open Sans, Arial, sans-serif"><span style="font-size: 14px;">Dalam konteks sejarah Desa Pererenan, peristiwa-peristiwa yang terjadi menjadi titik awal bagi perubahan signifikan dalam perkembangan Desa Pererenan. Selama periode awal kemerdekaan Republik Indonesia, Desa Pererenan awalnya digabungkan menjadi satu wilayah administrasi dengan Desa Buduk. Namun, perkembangan selanjutnya, wilayah ini dimekarkan pada tahun 2000, yang menghasilkan pembentukan tiga Desa terpisah, yaitu Desa Buduk, Desa Tumbak Bayuh, dan Desa Pererenan. Transformasi ini menandai langkah penting dalam sejarah administratif dan pembangunan masyarakat Desa Pererenan, yang terus berkembang seiring berjalannya waktu.</span></font></p>
25 May 2021